Kisaran tahun 1928 datanglah seorang pria perkasa dari Jawa tepatnya dari daerah Purworejo bernama WUDO PRAWIRO (konon sebagai parajurit dari prajuritnnya Pangeran Diponogoro) ke Parigi, entah bagaimana cerita sesungguhnya hingga beliau bermukim pada waktu itu di Parigi.
Singkat cerita Mbah Wudo mempunyai anak salah satunya bernama KARYO REJO yang saat itu diangkat menjadi Pegawai Perairan oleh Belanda, dan dibantu beberapa temannya yang menjadi anak buahnya, demikian ujar seorang nara sumber Bapak Jamaluddin yang saya temui (generasi ke tiga), mengisahkan yang dia ingat hasil cerita yang didapat dari Ayah dan Kakeknya.
Pada waktu itu masih jaman penjajahan Belanda, ada ide dari Pemerintahan Belanda kisaran tahun 1928 yang berinisiatif untuk membuat Bendungan yang bernama "Setu Parigi", yang kelak difungsikan sebagai irigasi dilokasi Pondok Aren dan sekitarnya (masih Tangerang ; belum terbagi) yang dulu disebut Kawedanaan Serpong (Kawedanan adalah wilayah administrasi kepemerintahan yang berada di bawah kabupaten dan di atas kecamatan yang berlaku pada masa Hindia Belanda) berkantor pusatnya di Kebayoran, yang sekarang ini telah menjadi Kantor Pusat PU di Jln Patimura.
Menurut penuturan Bapak Jamal beberapa setu yang beliau ketahui adalah merupakan setu alami, diantaranya : Setu Gentung, Setu Pamulang, Setu Cipondoh, lalu difungsi saat itu airnya untuk pertanian, namun beda dengan Setu Parigi yang memang dibuat oleh anak Bangsa kita.
Mengapa ada inisitif dibuat bendungan yang bernama "Setu Parigi", diatas lahan seluas 56.092.875 m2
Pembangunan Bendungan saat itu dimulai TH 1930 dan rampung 1932 yang terdiri dari 2 saluran Parigi / Sekunder 1 dan 2.
Parigi / Sekunder 1
untuk mengairi sawah sekitar 77H dengan wilayah Parigi Baru (saat ini) berpintu air 3 saluran.
Lalu saluran yang ke 2
untuk mengairi persawahan seluas 270H dan ini terdiri dari 4 pintu dan untuk mengairi persawahan Parigi Lama sampai Pondok Kacang dan sekitar nya.
Saat itu rumah dinas pengairan berlokasi tepat saat ini berada didepan gerbang masuk Sekolah Mentari / Mentari School Bintaro, dan hingga kini menjadi kediaman tetap Bapak Jamal
dan jalan itu dulu dinamakan Jln Pengairan yang titiknya berada dipertigaan Masjid Al Ghofur menuju saat ini yang bernama Ponpes Al Gontory (masih tanah pengairan).
Pintu masuk ke Bendungan atau Setu Parigi pun tidak jauh dari kediaman Bapak Jamal, kurang lebih 20 meter
Bapak Jamaluddin yang saya temui generasi ke 3 sebagai Pensiunan Petugas Pengairan (Juru Pengairan) saat ini, dan Ayahnya bernama Bapak Sudir pensiun di TH 79an sebagai Pengamat Pengairan, yang sebelumnya Juru Pengairan.
Poto Bapak Sudir yang saya minta tidak ada, namun saya mendapatkan poto istrinya yang bernama Nyai Kisah Binti Kisin asli pribumi Parigi.
Lalu selanjutnya digantikan oleh anak buahnya bernama H Nalih dan dibantu oleh Bapak Jamal dkk sebagai Pemeliharaan saluran (sekunder 1 dan 2 / saluran 1 dan 2) hingga kini telah memasuki masa pensiun.
Bapak Sudir Bin Karyorejo Bin Wudo Prawiro kini dimakamkan di Pemakaman Pondok Pucung berbatas dengan Desa Jombang Tangerang Selata ; saat ini) dan Alhamdulillah Bapak Jamal generasi ke 3 saat ini yang berusia 73th masih dalam keadaan sehat dan dapat bercerita gamblang seputar Setu Parigi.
Sawah yang dulu begitu luas dan menghijau, menguning saat panen tiba dengan penduduk yang ramah-tamah serta budaya Betawi yang khas dan kental menambah kedamaian warga sekitar Setu Parigi saat itu, namun beriring waktu semua itu tinggallah cerita, lalu berganti dengan cerita baru yang diperankan oleh anak cucu generasi baru Parigi.
Kini cerita masa lalu telah usai namun selanjutnya berganti cerita, Setu Parigi yang pada masa dulu sangat di harapakan airnya oleh ratusan petani kini Setu saat ini hanya sebatas tempat singgah sementara air yang datang lalu pergi begitu saja.
Setu Parigi saat ini sudah beralih fungsi menjadi salah satu Destinasi Wisata di Tangerang Selatan, dengan segala keterbatasan Setu Parigi tetap dijaga dan diperihara oleh Pemda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar